Hampir pukul delapan. Udara malam Wimbledon makin menggigit. Ini bukan musim dingin. Bukan pula pada satu musim yg kian malam kian bersorak dinginnya.
Secangkir kopi sudah semakin mendekati endapan ampasnya. Kamu belum datang.
Cangkir kopi kedua datang. Lalu kuberi satu senyuman manis kepada pelayan yg sedari tadi hanya berdiri memandangiku dari kejauhan, satu senyum yg mengisyaratkan satu kalimat, Aku masih tetap ingin menunggunya. Menunggu lelaki itu.
Sampai satu daun kering terbang jatuh hinggap di atas cawan cangkir kopiku. Apa artinya ? Pesan darimukah ? Ada apa denganmu ? Lihatlah ekor mataku ini tak henti-hentinya mencari bayang kedatanganmu. Jauh dalam otakku yang berkecamuk hanya menanti kehadiranmu. Namun sejauh yang aku tahu, udara malam ini makin membuatku menggigil. Jaket dan syal ini bahkan terasa makin menipis.
***
Sebotol air mineral ini mungkin jadi saksi kepengecutanku. Aku hanya bisa memandangimu dari jarak dua puluh kaki. Kau dan dua cangkir yang telah kau pesan untuk menemanimu menantiku, dan kau yang tak henti-hentinya tersenyum pada pelayan itu.
Aku terlalu takut menemuimu. Kenapa ? Karena sejak pesanmu tiba yg mengatakan “aku sudah sampai,” rasanya hatiku melompat keluar begitu saja. Jantungku terlalu cepat bereaksi. Degupnya terlalu kencang untuk kuraba. Bahkan aku sendiri tak sanggup mengendalikannya, tanganku hanya bisa mengepal-ngepal tak karuan. Satu-satunya perintah di otakku hanyalah berlari mengejarmu, memelukmu dan menciummu. Dan itulah yang benar2 kulakukan. Sampai tiba2 dari kejauhan aku melihatmu. Melihat sosokmu yang terlalu membahagiakanku. Aku hanya bisa tercekat. Keringatku bercucuran. Tiba2 kuhentikan langkah cepatku sampai aku terdiam. Aku bahkan masih tak bisa mengatur jeda nafasku. Satu pertanyaan tergantung di angan, sanggupkah aku melepas pelukanku nanti ? Jeritan hati kecil lagi-lagi mengusikku.
Aku terlalu takut menemuimu. Kenapa ? Karena sejak pesanmu tiba yg mengatakan “aku sudah sampai,” rasanya hatiku melompat keluar begitu saja. Jantungku terlalu cepat bereaksi. Degupnya terlalu kencang untuk kuraba. Bahkan aku sendiri tak sanggup mengendalikannya, tanganku hanya bisa mengepal-ngepal tak karuan. Satu-satunya perintah di otakku hanyalah berlari mengejarmu, memelukmu dan menciummu. Dan itulah yang benar2 kulakukan. Sampai tiba2 dari kejauhan aku melihatmu. Melihat sosokmu yang terlalu membahagiakanku. Aku hanya bisa tercekat. Keringatku bercucuran. Tiba2 kuhentikan langkah cepatku sampai aku terdiam. Aku bahkan masih tak bisa mengatur jeda nafasku. Satu pertanyaan tergantung di angan, sanggupkah aku melepas pelukanku nanti ? Jeritan hati kecil lagi-lagi mengusikku.
Aku ingin mengusap wajah lelahmu
Aku ingin membuatmu tersenyum
Aku ingin membuat matamu berbinar riang
Karena, itu bahagiaku
Ya, itu semua bahagiaku. Namun sejauh yang aku tahu itu, aku tak bisa melepas pelukanku dalam hidupmu. Ada baiknya aku pun tak bertemu dirimu. Maafkan aku adalah lelaki pengecut. Terlalu pengecut hanya untuk menemuimu. Karena ku tahu pasti kita takkan pernah satu.
Segera kuambil ponselku, dan menulis rangkai kata untukmu.
Segera kuambil ponselku, dan menulis rangkai kata untukmu.
***
Pukul sembilan lewat dua puluh lima menit. Hanya aku satu-satunya wanita di sini. Aku tak tahu apa itu kasih. Aku hanya ingin menunggunya. Ingin melihatnya. Karena ia bahagiaku. Hingga tiba2 ponselku berbunyi.
Aku selalu takut kehilanganmu
-Kamu tak akan pernah kehilanganku
Kamu milikku ?
-Aku jiwamu
Tapi yg tak pernah bisa kusentuh, pun kupeluk
-Bagaimana mungkin kamu bisa memeluk jiwamu sendiri ?
Ia telah menyatu denganku ?
-Selalu.
Seketika malaikat menghampiriku dengan kepakan sayap indahnya.
Seketika malaikat menghampiriku dengan kepakan sayap indahnya.
Fiction. Jakarta, 17 Oktober 2011
0 komentar:
Posting Komentar